Sudahkah
Kita Bonek? 1
Awal Nopember 2011, saya
melakukan perjalanan ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Dari Pondok Gede ke Lubang
Buaya, saya menaiki angkot yang dikemudikan oleh seorang pria. Umurnya lebih
dari 50 tahun. Sebagaimana kesukaan saya, kali itu saya pun memilih duduk di
bagian depan angkot. Di samping Pak Supir yang sibuk menyetir.
Saya, seperti kepada siapa
pun, tidak membatasi diri untuk beramah sikap. Termasuk kepada Pak Supir yang
duduk di samping saya. Sejak saya membuka pintu angkot, saya tersenyum kepadanya.
“Apa kabar, Pak? Sehat?”
Dia tidak menjawab. Justru
mengekspresikan wajah heran. Apa kita pernah kenal? Mungkin itu yang hatinya
tanyakan. Tentu saja saya memang belum kenal dia.
Belum lama angkot melaju,
seorang ibu-ibu menaiki angkot yang juga saya tumpangi. Rupanya ibu-ibu inilah
yang benar-benar sudah mengenal Pak Sopir. Terjadilah obrolan di antara mereka.
Diawali dengan saling menyapa basa-basi.
Obrolan berlanjut dengan tema
kemacetan yang sedang terjadi. Saya sesekali ber-oh oh menanggapi obrolan
mereka. Obrolan dari menit ke menit jadi semakin seru.
Sebagai pengguna setia
angkot, saya menyadari keuntungan dan kerugian serta risiko naik angkot. Kerugian
itu misalnya jika saya akan lebih lambat tiba di tujuan, akibat macetnya jalur
lalu lintas. Namun, saya menjadi khawatir kalau ketelatan kali ini terlalu
berlebihan dan tak bisa ditolelir.
Sejak saya naik dari depan
Mall Pondok Gede, kemacetan diperparah oleh genangan sisa hujan. Dan terutama
kondisi jalan yang masya Allah, parah banget. Kondisi jalan yang kata Pak Sopir belum lama
diperbaiki. Sekarang mulai rusak.
Itu tema obrolan di dalam
angkot yang kali ini menjadi semacam acara talk show. Seperti
sering kita saksikan di layar televisi. Penyebabnya obrolan seru adalah mereka
membahas tentang ketidakdisiplinan masyarakat membuang sampah.
Ketidakdisiplinan dalam berkendara. Ketidakbecusan aparat. Dan korupsi para
pejabat.
Bahwa masyarakat kita yang
sangat maju itu, senang saja membuang sampah secara asal-asalan. Ini menyebabkan
tersumbatnya selokan. Lalu banjir pada musim hujan ini. Bahwa aparat kita
‘rajin menolong’ dan ‘senang berdamai’ dengan pengendara yang tidak disiplin
berlalu lintas. Serta yang paling seru adalah bahwa para pemangku kepentingan
yang kita semua sangat andalkan itu, rajin sekali menggelembungkan angka-angka
atas nama proyek pembangunan sarana umum.
Khusus yang disebutkan
ketiga, Pak Sopir memberi penjelasan lebih panjang. “Aspal yang dalam pengajuan
awal dibangun dengan ketebalan 10 senti, dalam praktiknya hanya 3 atau paling
tebal 5 centi. Belum lagi kualitas bahan-bahan yang disebut katanya nomor satu,
ternyata yang dipakai adalah kualitas nomor tiga. Pengaspalan itu berapa meter
panjangnya. Dan itulah yang duit yang sebenarnya melayang ke dompet-dompet
mereka….”
Sebenarnya masalah kenegaraan
bukanlah sesuatu yang terlalu saya sukai. Apalagi jika soal korupsi para pejabat,
ketidakteraturan hukum. Semua ini sesuatu yang membosankan. Karena diobrolkan
pun hasilnya begitu-begitu saja. Tetapi kali ini saya mengangguk-angguk. Termangu
memikirkan kata-katanya. Tidak sekadar ber-oh oh.
“Sementara masyarakat di
bawah sana menderita, hidup susah dan terseok-seok,” kata Pak Sopir, yang kali
ini saya angguk-angguki lagi.
Mungkin tepat. Tidak usah
jauh-jauh. Dengan potensi yang saya dan masyarakat di sekitar saya miliki,
kebaikan dan ketulusan hati kami, keikhlasan kami menunggu rizki dari Allah,
barangkali saya dan teman-teman saya tidak akan semenderita selama ini. Jika
pejabatnya tidak curang dan bertindak semau mereka.
“Wajar saja kalau
mahasiswa-mahasiswa itu sering berprotes.”
Saya kembali
mengangguk-angguk, sungguh-sungguh tidak lagi ber-oh oh.
“Sayangnya sebagian mahasiswa
itu berprotes dengan cara yang salah.”
Saya menoleh. Memandang wajah
Pak Sopir. Saya angkat kedua alis. Saya berharap Pak Sopir yang sekilas
memandang saya, mengetahui ekspresi heran saya.
“Kalau sampai merusak dan
membakar, apakah bisa dibenarkan?” tanyanya mengajak saya merenung. Membuktikan
bahwa harapan saya agar dia menyadari keheranan saya, terwujud.
Saya menurunkan alis,
termangu lagi. Detik itu juga, saya teringat para suporter sepak bola Indonesia
yang seingat saya sangat sering berprotes dengan cara merusak. “Seperti
para bonek itu ya, Pak?”
“Nah, itu dia. Satu istilah
yang keliru,” sahut Pak Sopir lebih antusias daripada sebelumnya. Saya kembali
diburu rasa penasaran.
“Bonek yang sebenarnya
bukanlah para pengrusak. Bukan orang-orang nekat yang bertindak tanpa
perhitungan, tanpa akal sehat. Bonek bukanlah mereka yang berbuat semaunya
tanpa aturan, tanpa pikiran panjang. Dan justru merugikan pihak lain.”
Wah wah wah, Pak Sopir pintar
sekali meningkatkan rasa ingin tahu yang menderasi batin saya.
“Bonek pada zaman saya dulu,
Dik, adalah anak-anak muda yang bersemangat tinggi, berekemauan keras. Sayangnya
berkemampuan lemah secara ekonomi. Mereka berjuang sekuat tenaga, sepenuh daya.
Memaksimalkan potensi diri untuk mewujudkan cita-cita mereka.”
Saya sangat terpukau oleh
penjelasan Pak Sopir kali ini. Saya teringat semua redaksi berita selalu
menyebut para suporter gadungan dengan istilah bonek. Memang
terkadang pers-lah yang sangat berpeluang besar mempengaruhi opini dan
pandangan masyarakat. Barangkali para jurnalis itulah yang memulai kesalahan
ini.
“Dulu, para bonek adalah
mereka yang sangat miskin di kampungnya. Hidup mereka amat sederhana. Tapi
semangat mereka akan cita-cita sangat besar.”
bersambung
No comments:
Post a Comment