Thursday 6 June 2013

Sudahkah Kita Bonek? 1

Awal Nopember 2011, saya melakukan perjalanan ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Dari Pondok Gede ke Lubang Buaya, saya menaiki angkot yang dikemudikan oleh seorang pria. Umurnya lebih dari 50 tahun. Sebagaimana kesukaan saya, kali itu saya pun memilih duduk di bagian depan angkot. Di samping Pak Supir yang sibuk menyetir.

Saya, seperti kepada siapa pun, tidak membatasi diri untuk beramah sikap. Termasuk kepada Pak Supir yang duduk di samping saya. Sejak saya membuka pintu angkot, saya tersenyum kepadanya.

“Apa kabar, Pak? Sehat?”

Dia tidak menjawab. Justru mengekspresikan wajah heran. Apa kita pernah kenal? Mungkin itu yang hatinya tanyakan. Tentu saja saya memang belum kenal dia.

Belum lama angkot melaju, seorang ibu-ibu menaiki angkot yang juga saya tumpangi. Rupanya ibu-ibu inilah yang benar-benar sudah mengenal Pak Sopir. Terjadilah obrolan di antara mereka. Diawali dengan saling menyapa basa-basi.

Obrolan berlanjut dengan tema kemacetan yang sedang terjadi. Saya sesekali ber-oh oh menanggapi obrolan mereka. Obrolan dari menit ke menit jadi semakin seru. 

Sebagai pengguna setia angkot, saya menyadari keuntungan dan kerugian serta risiko naik angkot. Kerugian itu misalnya jika saya akan lebih lambat tiba di tujuan, akibat macetnya jalur lalu lintas. Namun, saya menjadi khawatir kalau ketelatan kali ini terlalu berlebihan dan tak bisa ditolelir.

Sejak saya naik dari depan Mall Pondok Gede, kemacetan diperparah oleh genangan sisa hujan. Dan terutama kondisi jalan yang masya Allah, parah banget. Kondisi jalan yang kata Pak Sopir belum lama diperbaiki. Sekarang mulai rusak.

Itu tema obrolan di dalam angkot yang kali ini menjadi semacam acara talk show. Seperti sering kita saksikan di layar televisi. Penyebabnya obrolan seru adalah mereka membahas tentang ketidakdisiplinan masyarakat membuang sampah. Ketidakdisiplinan dalam berkendara. Ketidakbecusan aparat. Dan korupsi para pejabat.

Bahwa masyarakat kita yang sangat maju itu, senang saja membuang sampah secara asal-asalan. Ini menyebabkan tersumbatnya selokan. Lalu banjir pada musim hujan ini. Bahwa aparat kita ‘rajin menolong’ dan ‘senang berdamai’ dengan pengendara yang tidak disiplin berlalu lintas. Serta yang paling seru adalah bahwa para pemangku kepentingan yang kita semua sangat andalkan itu, rajin sekali menggelembungkan angka-angka atas nama proyek pembangunan sarana umum.

Khusus yang disebutkan ketiga, Pak Sopir memberi penjelasan lebih panjang. “Aspal yang dalam pengajuan awal dibangun dengan ketebalan 10 senti, dalam praktiknya hanya 3 atau paling tebal 5 centi. Belum lagi kualitas bahan-bahan yang disebut katanya nomor satu, ternyata yang dipakai adalah kualitas nomor tiga. Pengaspalan itu berapa meter panjangnya. Dan itulah yang duit yang sebenarnya melayang ke dompet-dompet mereka….”

Sebenarnya masalah kenegaraan bukanlah sesuatu yang terlalu saya sukai. Apalagi jika soal korupsi para pejabat, ketidakteraturan hukum. Semua ini sesuatu yang membosankan. Karena diobrolkan pun hasilnya begitu-begitu saja. Tetapi kali ini saya mengangguk-angguk. Termangu memikirkan kata-katanya. Tidak sekadar ber-oh oh.

“Sementara masyarakat di bawah sana menderita, hidup susah dan terseok-seok,” kata Pak Sopir, yang kali ini saya angguk-angguki lagi.

Mungkin tepat. Tidak usah jauh-jauh. Dengan potensi yang saya dan masyarakat di sekitar saya miliki, kebaikan dan ketulusan hati kami, keikhlasan kami menunggu rizki dari Allah, barangkali saya dan teman-teman saya tidak akan semenderita selama ini. Jika pejabatnya tidak curang dan bertindak semau mereka.

“Wajar saja kalau mahasiswa-mahasiswa itu sering berprotes.”

Saya kembali mengangguk-angguk, sungguh-sungguh tidak lagi ber-oh oh.

“Sayangnya sebagian mahasiswa itu berprotes dengan cara yang salah.”

Saya menoleh. Memandang wajah Pak Sopir. Saya angkat kedua alis. Saya berharap Pak Sopir yang sekilas memandang saya, mengetahui ekspresi heran saya.

“Kalau sampai merusak dan membakar, apakah bisa dibenarkan?” tanyanya mengajak saya merenung. Membuktikan bahwa harapan saya agar dia menyadari keheranan saya, terwujud.

Saya menurunkan alis, termangu lagi. Detik itu juga, saya teringat para suporter sepak bola Indonesia yang seingat saya sangat sering berprotes dengan cara merusak. “Seperti para bonek itu ya, Pak?”

“Nah, itu dia. Satu istilah yang keliru,” sahut Pak Sopir lebih antusias daripada sebelumnya. Saya kembali diburu rasa penasaran.

“Bonek yang sebenarnya bukanlah para pengrusak. Bukan orang-orang nekat yang bertindak tanpa perhitungan, tanpa akal sehat. Bonek bukanlah mereka yang berbuat semaunya tanpa aturan, tanpa pikiran panjang. Dan justru merugikan pihak lain.”

Wah wah wah, Pak Sopir pintar sekali meningkatkan rasa ingin tahu yang menderasi batin saya.

“Bonek pada zaman saya dulu, Dik, adalah anak-anak muda yang bersemangat tinggi, berekemauan keras. Sayangnya berkemampuan lemah secara ekonomi. Mereka berjuang sekuat tenaga, sepenuh daya. Memaksimalkan potensi diri untuk mewujudkan cita-cita mereka.”

Saya sangat terpukau oleh penjelasan Pak Sopir kali ini. Saya teringat semua redaksi berita selalu menyebut para suporter gadungan dengan istilah bonek. Memang terkadang pers-lah yang sangat berpeluang besar mempengaruhi opini dan pandangan masyarakat. Barangkali para jurnalis itulah yang memulai kesalahan ini. 

“Dulu, para bonek adalah mereka yang sangat miskin di kampungnya. Hidup mereka amat sederhana. Tapi semangat mereka akan cita-cita sangat besar.”


bersambung 

No comments:

Post a Comment