Thursday 6 June 2013

Sudahkah Kita Bonek? 2

“Mereka pun pergi ke kota atau daerah lain. Sering anak-anak muda itu berdagang asongan pada siang hingga tengah malam. Sedangkan pagi harinya mereka gunakan untuk tekun kuliah.”

Masih ada beberapa lagi cerita Pak Sopir tentang bonek. Misalnya anak muda yang bekerja di suatu pabrik. Setelah beberapa tahun bekerja mereka membuka usaha mandiri. Beberapa tahun kemudian mereka pun mapan dengan usaha mandiri yang mereka buka. Bahkan memiliki beberapa anak buah.

“Itulah yang sebenarnya bonek. Mereka sungguh bermodalkan kenekatan dalam meraih impian dan kemajuan. Tentu saja mereka mengusahakan semuanya dengan penuh perhitungan, doa yang tulus, keuletan, kesabaran dan kegigihan.

Mereka tahu kemampuan dan kekurangan diri. Mereka bersedia mengoreksi kekurangan itu. Tidak seperti bonek yang Adik kenal sekarang. Yang anarkis. Ekstrimis. Membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

Wah, kalau yang seperti ini saya baru tumon, Pak. Kata saya dalam hati yang terekspersi dengan manggut-manggut saja. Tidak mungkin jugalah saya bilang ‘baru tumon’ ke Pak Sopir. Bisa-bisa dia seperti Anda, menganggap saya makhluk aneh.

Sesungguhnya saya sedang teringat beberapa tokoh semacam bonek. Baik dari dunia fiksi maupun fakta. Misalnya Azam dalam Ketika Cinta Bertasbih-nya Habiburahman. Spiderman dalam film Holywood. Dan Fitri Rahayu dalam sinetron Cinta Fitri.

Pun jauh sebelum saya membaca lalu menonton Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Ada nama Pak Kiai Ahmad Soderi, pendiri Pesantren al-Fallah Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas. Dia adalah sekaligus adik kandung sastrawan Ahmad Tohari. Kiai Ahmad Soderi kabarnya menaiki sepeda ontel ke tempat dia nyantri di sebuah pesantren di Cilacap. Allahu akbar banget ya mereka?

Sekarang saya dirasuki pemahaman baru tentang bonek. Jelas berbeda dengan pemahaman selama ini. Walaupun belum tahu bagaimana caranya mengubah kesalahkaprahan ini, saya mulai tidak terima dengan penyelewengan bonek masa sekarang.

Di sisi lain, mendengarkan kata-kata Pak Sopir, teringat beberapa tokoh yang sudah sukses dengan cara bonek. Menjadi tamparan buat saya. Meski punya cita-cita dan tak mau jadi orang susah di masa sekarang dan di masa depan, rasa-rasanya selama ini saya masih saja kurang bonek.

Oya, saya belum memberi tahu Anda kalau Pak Sopir di samping saya adalah mantan pengabdi negara. Entah di bidang apa. Tadi dia mengatakan pernah ditugaskan di luar Pulau Jawa. Pantaslah cukup mengerti dan lantang bicara tentang pejabat, aparat, korupsi.
Dia pun berasal dari Surabaya. Tidak perlu dipertanyakan soal pemahamanya tentang bobek. Dia juga sangat berapi-api sewaktu bicara tentang bonek masa lalu dan masa kini.

Pak Sopir di samping saya adalah seorang bonek sejati. Ini pandangan pribadi yang saya dasarkan dari riwayat asal usul dan pekerjaannya. Lalu setelah pensiun pun dia tidak malu menjadi sopir angkot.

Soal menjadi sopir angkot, Pak Sopir bilang itu terjadi karena dia mempunyai beberapa mobil angkot. Hari ini ada seorang sopir yang biasa memakai mobil angkotny, yang belum datang. Daripada mobil angkotnya dibiarkan saja, dia berangkat narik.

Katanya dia cukup dua rit membawa penumpang. Tadi dia membawa satu rit penumpang arah Pondok Gede. Artinya setelah dia sampai di tujuan akhir sesuai rute angkotnya, dia akan istirahat. Bonek banget kan dia?

“Di sini saja, Pak,” kata saya saat angkot mencium pelataran gerbang Taman Makam Pahlawan Lubang Buaya. Angkot berhenti. Saya membuka pintu. Menurunkan kaki. Menutup pintu angkot. Melangkah dua tindak.

“Eeee, Dik.” 

Dug, astaghfirullah. Suara Pak Sopir menyentak. Saya memang mulai meninggalkan angkot itu. Bukan Pak Sopir seorang yang meneriaki saya. Penumpang lain juga melakukannya. 
Saya malu dan tersadar. Namun memahami mengapa mereka kompak meneriaki saya.

“Ongkosnya dong….”

Hehehehehehe….

Bridge Village Land, 6 Januari 2012






No comments:

Post a Comment