Sudahkah
Kita Bonek? 2
“Mereka pun pergi ke kota
atau daerah lain. Sering anak-anak muda itu berdagang asongan pada siang hingga
tengah malam. Sedangkan pagi harinya mereka gunakan untuk tekun kuliah.”
Masih ada beberapa lagi
cerita Pak Sopir tentang bonek. Misalnya anak muda yang bekerja di suatu
pabrik. Setelah beberapa tahun bekerja mereka membuka usaha mandiri. Beberapa tahun
kemudian mereka pun mapan dengan usaha mandiri yang mereka buka. Bahkan
memiliki beberapa anak buah.
“Itulah yang sebenarnya
bonek. Mereka sungguh bermodalkan kenekatan dalam meraih impian dan kemajuan.
Tentu saja mereka mengusahakan semuanya dengan penuh perhitungan, doa yang
tulus, keuletan, kesabaran dan kegigihan.
Mereka tahu kemampuan dan
kekurangan diri. Mereka bersedia mengoreksi kekurangan itu. Tidak seperti bonek
yang Adik kenal sekarang. Yang anarkis. Ekstrimis. Membahayakan diri sendiri
dan orang lain.”
Wah, kalau yang seperti ini
saya baru tumon, Pak. Kata saya dalam hati yang terekspersi dengan
manggut-manggut saja. Tidak mungkin jugalah saya bilang ‘baru tumon’ ke Pak
Sopir. Bisa-bisa dia seperti Anda, menganggap saya makhluk aneh.
Sesungguhnya saya sedang
teringat beberapa tokoh semacam bonek. Baik dari dunia fiksi maupun fakta.
Misalnya Azam dalam Ketika Cinta Bertasbih-nya Habiburahman. Spiderman dalam
film Holywood. Dan Fitri Rahayu dalam sinetron Cinta Fitri.
Pun jauh sebelum saya membaca
lalu menonton Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Ada nama Pak Kiai Ahmad Soderi,
pendiri Pesantren al-Fallah Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas. Dia adalah
sekaligus adik kandung sastrawan Ahmad Tohari. Kiai Ahmad Soderi kabarnya
menaiki sepeda ontel ke tempat dia nyantri
di sebuah pesantren di Cilacap. Allahu akbar banget ya mereka?
Sekarang saya dirasuki
pemahaman baru tentang bonek. Jelas berbeda dengan pemahaman selama ini. Walaupun
belum tahu bagaimana caranya mengubah kesalahkaprahan ini, saya mulai tidak
terima dengan penyelewengan bonek masa sekarang.
Di sisi lain, mendengarkan
kata-kata Pak Sopir, teringat beberapa tokoh yang sudah sukses dengan cara
bonek. Menjadi tamparan buat saya. Meski punya cita-cita dan tak mau jadi orang
susah di masa sekarang dan di masa depan, rasa-rasanya selama ini saya masih
saja kurang bonek.
Oya, saya belum memberi tahu
Anda kalau Pak Sopir di samping saya adalah mantan pengabdi negara. Entah di
bidang apa. Tadi dia mengatakan pernah ditugaskan di luar Pulau Jawa. Pantaslah
cukup mengerti dan lantang bicara tentang pejabat, aparat, korupsi.
Dia pun berasal dari Surabaya.
Tidak perlu dipertanyakan soal pemahamanya tentang bobek. Dia juga sangat
berapi-api sewaktu bicara tentang bonek masa lalu dan masa kini.
Pak Sopir di samping
saya adalah seorang bonek sejati. Ini pandangan pribadi yang saya dasarkan dari
riwayat asal usul dan pekerjaannya. Lalu setelah pensiun pun dia tidak malu
menjadi sopir angkot.
Soal menjadi sopir angkot, Pak
Sopir bilang itu terjadi karena dia mempunyai beberapa mobil angkot. Hari ini ada
seorang sopir yang biasa memakai mobil angkotny, yang belum datang. Daripada
mobil angkotnya dibiarkan saja, dia berangkat narik.
Katanya dia cukup dua rit
membawa penumpang. Tadi dia membawa satu rit penumpang arah Pondok Gede.
Artinya setelah dia sampai di tujuan akhir sesuai rute angkotnya, dia akan
istirahat. Bonek banget kan dia?
“Di sini saja, Pak,” kata
saya saat angkot mencium pelataran gerbang Taman Makam Pahlawan Lubang Buaya.
Angkot berhenti. Saya membuka pintu. Menurunkan kaki. Menutup pintu angkot.
Melangkah dua tindak.
“Eeee, Dik.”
Dug, astaghfirullah.
Suara Pak Sopir menyentak. Saya memang mulai meninggalkan angkot itu. Bukan Pak
Sopir seorang yang meneriaki saya. Penumpang lain juga melakukannya.
Saya malu dan tersadar. Namun
memahami mengapa mereka kompak meneriaki saya.
“Ongkosnya dong….”
Hehehehehehe….
Bridge Village Land, 6
Januari 2012
No comments:
Post a Comment