Tuesday 18 June 2013

Bisakah Cerita Film dan Sinetron Tidak Berisi Keributan? 

Beberapa bulan yang lalu, ada promo film Sang Penari ditayangkan di sctv. Film ini diangkat atau terinspirasi dari Ronggeng Dukuh Paruk, novel karya Ahmad Tohari. Tayang sebelumnya di bioskop bulan Nopember 2011.


Poster film Sang Penari diambil dari www.republika.co.id

Saya kirim sms ke beberapa teman yang berasal dari Banyumas, tentang penayangan film ini. Untuk penayangan di sctv sendiri malam itu sudah yang ketiga kalinya. Ditayangkan jam 22.00.

Menjelang jam 12 malam itu, salah satu teman yang saya beri tahu info penayangan film itu, menelepon saya. Saya sendiri sebenarnya tidak menonton, karena tidak punya pesawat televisi.

“Bapak nonton?”

“Kok ribut melulu ya isinya?”

Hehehe, namanya juga cerita film. Gimana sih? Kata saya dalam hati. Saya tidak menanyakan padanya di bagian mana dia menemukan keributan di film Sang Penari. Teman saya itu termasuk orang yang pemahaman agamanya sudah tinggi. Juga sudah dalam usia yang tidak lagi memikirkan hal remeh temeh.

Bukan meremehkan dunia film atau seni. Tapi bisa saja kan dia beranggapan untuk apa mengurusi atau terlalu memperhatikan hal semacam itu? Kemungkinannya juga dia belum membaca novelnya, walaupun sama-sama orang Banyumas. Saya sangat memaklumi tanggapan teman saya.
***
Akhir-akhir ini saya jadi teringat pertanyaan teman saya: “Kok ribut melulu ya isinya?”

Ya, bisakah cerita film kita tidak usah mengandung keributan? Padahal keributan, dengan segala variannya: pertengkaran, peperangan, perkelahian, adalah konflik yang ingin dituturkan dalam setiap film. Film jenis apa pun!

Misalnya film percintaan di mana seorang wanita melihat kekasihnya selingkuh dengan wanita lain, bisakah menghindarkannya dari mencaci maki sang kekasih atau pasangan selingkuhan kekasihnya? Juga bisakah misalnya seorang penjahat yang harus ditindak oleh aparat hukum atau sang jagoan tokoh utama dalam film, berhadap-hadapan tanpa perkelahian, kejar-kejaran, saling meremehkan?

Juga jika cerita drama keluarga, di mana dikisahkan seorang anak yang teraniaya, bisakah sang penganiaya menyakiti tanpa berbuat dan berkata kasar?

Sangat mustahil film-film yang dibuat oleh para sineas tidak mengandung keributan. Film perang, film dunia kependekaran, film laga modern, film para penjahat di dunia gangster, adalah film-film yang biasanya mengandung keributan.

Dan bukan itu saja. Di Indonesia, film (ftv, sinetron) komedi dan reliji pun, seolah wajib mengandung keributan. Dalam film (dan atau sitkom, sketsa, drama panggung) komedi, antar tokoh merasa belum berakting bagus jika tidak saling mengejek atau meremehkan.

Film (sinetron) reliji tidak jauh beda, atau malah lebih parah menurut saya. Film reliji yang saya kira harusnya mengandung ajaran moral berdasarkan agama tertentu, justru yang ditonjolkan adalah adegan pertengkaran, kelicikan, keributan, perkelahian, pertikaian para tokohnya.

Film drama sama payahnya. Saya dan Anda pasti tahu, kalau salah satu adegan mertua mengomeli menantu, suami mengusir istri, persaingan mengejar kekasih, pasti sarat dengan adegan keributan. Adegan-adegan itu, yang kadang sangat berlebihan, bukan saja disaksikan oleh kita para penonton, tapi saya yakin pembuatnya pun sadar. Masa mereka membuat adegan keributan tanpa kesadaran pada tahap pacsa produksi? 

Dalam hal ini mungkin yang tepat adalah bagaimana menampilkan keributan itu secara pas sesuai porsinya. Misalnya adegan wanita yang marah kepada pesaingnya dalam memperebutkan seorang pria, kenapa sih harus sampai melotot-melotot, berteriak-teriak seperti penghuni kebun binatang?

Lho yang seperti itu kan juga ada di kehidupan nyata? Begitu kata-kata sanggahannya. Adegan mencampurkan racun di gelas air minum, adegan orang distrum, atau dibunuh, kan memang ada di kehidupan nyata?

Saya kok curiga, jangan-jangan kejahatan dan kekasaran yang marak terjadi di masyarakat kita akhir-akhir  ini, justru karena pengaruh tontonan sinetron.

Jadi apakah benar, bahwa cerita film harus selalu berisi adegan keributan? Saya sangat jarang menemukan yang di luar itu. Cerita film sebagai penggambaran atau refleksi dari kehidupan nyata yang sarat konflik, akan sangat susah menghindarkan dari adegan keributan.

Tetapi bukan tidak ada. Laskar Pelangi saya kira pantas disebut sebagai film yang tanpa keributan. Kalaupun ada keributan, itu dipasang secara tepat takarannya.

Oya, ada satu lagi film yang bisa juga saya sebutkan. Judulnya Children of Heaven. Anda pernah menontonnya juga, kan?


Poster film Children of Heaven diambil dari vemala.com
Beberapa judul film memang telah menempatkaan keributan dengan takaran dan porsi yang tepat. Keributan berlebihan justru semakin merajalela secara tak semestinya pada tayangan televisi kita.

Bridge Village, 15 Juni 2013

2 comments:

  1. begini lho son, sebenernya sampean sudah tau jenis jenis film dari genrenya. nah salah satunya adalah genre yg tidak memuat keributan. nah kalau semua film seperti itu semua, ya kurang beragam. mungkin perlu keseimbangan dalam membuat sebuah cerita film, yakni keseimbangan antara menyampaikan hal yang baik, dan hal yang tidak baik yang mendapat ganjaran sesuai perbuatannya. Atau keseimbangan genre film, misalnya jangan horror semua, pertengkaran semua, kesadisan semua. Nah film film seperti children of Heaven itu juga bisa sebagai obat, atau penyeimbang dari cerita2 yang buruk.

    ReplyDelete
  2. Ya benar, saya menunggu fil karya Santosa Amin yang selalu seimbang takarannya.

    ReplyDelete